Jumat, 12 September 2008

Menengok Kandank(g) Doank(g)


Di sore saat jalan-jalan, tanpa sengaja melihat bangunan aneh nun hijau yang oleh beberapa orang tetangga dikatakan sebagai sebuah “kandang” miliki Dik Doank (presenter dan pekerja seni).
Tepatnya di kawasan Ciputat, Kompleks Pondok Sawah Indah Kabupaten Tangerang, diatas lahan seluas 2.000 meter persegi itu, Dik Doank tinggal. Dengan penasaran, ingin sekali masuk dan melihat detil bangunan rumah sang selebritis yang sedang concern di bidang pendidikan anak ini.
“Kok kandang?”, pertanyaan awal yang terbesit. Namun setelah masuk didalamnya tak terlihat gajah, harimau, kerbau atau binatang peliharaan lain layaknya kandang.
Saat ditanyakan kepada si empunya rumah, Dik Doank hanya tersenyum sembari mengatakan “kandang” lebih pada falsafah hidup yang membiarkan kebebasan hewan (makhluk bernyawa) keluar-masuk di “hutan” miliknya ini.
Lebih dari itu, Dik Doank membebaskan anak-anak di lingkungan rumahnya, bahkan anak-anak dari tempat lain, untuk bermain dan berkegiatan di rumahnya.
Berbagai fasilitas ia sediakan untuk anak-anak, mulai dari lapangan sepak bola mini, lapangan basket, lapangan badminton, perpustakaan, areal outbond, panggung terbuka, panggung pertunjukan, dan taman bermain. Sejak pagi, terutama sore hari, anak-anak berbagai usia selalu mengisi halaman rumah.
Di “kandang”-nya itu, Dik Doank juga membangun rumah-rumah kayu, sebagian berbentuk rumah panggung, untuk bermacam fungsi. Ada studio musik, warung makan, tempat leyeh-leyeh (beristirahat), juga ruang kerja pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh Dik Doank yang diberi nama Rumah Induk Semang.
Rumah Induk Semang ini letaknya di atas. Untuk naik hanya ada tangga kayu sempit tanpa pegangan. Rumah ini ukurannya hanya sekitar 2 x 3 meter. Dari atas, pemandangannya luar biasa: sawah terbentang luas dengan semilir angin menyejukkan. Kadang kala, jika sedang beruntung dan langit tidak mendung, kata Dik Doank, ia bisa menikmati matahari terbenam dari ruang kerjanya itu.
Di sudut halaman lain, ada lima bangunan rumah yang belum selesai dibangun. Bangunan itu adalah rumah pintar yang nantinya akan digunakan untuk ruang pamer, kantor, perpustakaan dewasa dan anak-anak, serta ruang multimedia.
Di Kandank Jurank Doank, Dik Doank mendidik sekitar 2.500 anak untuk belajar mencari ilmu. Anak-anak diajak bermain dan didorong untuk mencipta. Pelajaran utamanya adalah menggambar. “Bahagia adalah bisa berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain,” jawab Dik Doank ketika berniat membangun dan memfungsikan rumah ini.
Orang-orang yang datang ke rumah Dik Doank sering kali salah. Ketika turun dari kendaraan, biasanya mereka menuju ke sebuah rumah cukup besar dan mewah. “Itu bukan rumah saya, ini rumah saya,” tutur Dik Doank sambil menunjuk sebuah rumah sederhana, yang luasnya sekitar 120 meter persegi, di sebelah rumah besar itu.
Bangunan rumah yang menjadi tempat berteduh Dik Doank benar-benar teduh. Tanaman merambat dibiarkan naik sampai ke atas atap. Sebagian batang tanaman dibiarkan menjulur dari atap terasnya. Tidak takut ada ular? “Ular teman Tarzan,” tutur pria yang bernama lengkap RM Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma ini.
Rumah sederhana itu seperti museum bagi Dik Doank. Segala benda yang menandai perjalanan hidupnya ia pajang di dalam rumah. Bahkan, sebuah kloset pun mendapat tempat di ruang tamu. Kloset yang terbuat dari kayu itu merupakan imitasi dari kloset aslinya yang tentu saja ada di kamar mandi.
“Aku menciptakan karya-karya musik di kloset ini,” kata lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ketika pertama kali kloset itu dipajang di ruang tamu, salah satu anak Dik Doang mengencingi kloset itu karena dianggap kloset betulan.
Masih di ruang tamu itu, kalau kita mendongak ke atas ada meja bilyar yang tertancap di langit-langit. Meja bilyar itu bukan tanpa arti. Menurut Dik Doank, bilyar adalah salah satu permainan yang dekat dengan judi. Dengan menggantungnya di langit-langit, Dik Doank berharap segala bentuk kemaksiatan menjauhi dirinya.
Dengan segala materi yang dimiliki, Dik Doank mencoba hidup bersahaja. Ia bahkan tidak lagi memiliki mobil pribadi. Sebuah mobil kecil berwarna kuning yang terparkir di garasi adalah milik istrinya.
“Saya tidak punya mobil lagi. Kalau ada acara, saya selalu minta dijemput oleh penyelenggara,” ujar Dik Doank. Dari “kandang” itulah, Dik Doank membebaskan dirinya dan juga membebaskan anak-anak didik yang dicintainya untuk berekspresi.(aen/rz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar