Kamis, 25 September 2008

Gerakan Bersih Bandara


Putri Indonesia Zivanna Letisha beserta Miss Tourism Indonesia ketika mendampingi Menteri Pariwisata Jero Wacik dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah meninjau fasilitas bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Selasa (23/9).
Kunjungan tersebut sekaligus meresmikan fasilitas baru berupa toilet dalam “Gerakan Bandara Bersih” (Clean Airport Action) yang merupakan bagian dari program untuk meningkatkan pelayanan pariwisata di Indonesia.

Sabtu, 20 September 2008

Caterham R500 (2009)


Berkenalan dengan Rika Kato


Blog: Khomsurizal

Nama lengkapnya Rika Tolentono Kato, biasa disapa Rika. Ramah, cantik dan selalu mengurai senyum, begitulah kesan dominan yang melintas dalam benak setiap orang ketika menjumpainya.
Pesona perempuan berdarah campuran Filipina-Jepang ini kian terlihat jelas memancar pada saat bertegur-sapa. “Alhamdulilah baik, moga anda demikian juga,” kata Kato melalui mimik bahasa Indonesia terbata-bata.
Dengan busana muslimah berwarna kuning muda, ia mendampingi sang suami Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI) menghadiri undangan kader Partai Bulan Bintang di Sekretariat “Yusril For President” Wilayah Provinsi Banten, Villa Ilhami Karawaci Tangerang, kemarin. Banyak mata tertuju kepadanya, bahkan pusat perhatian khalayak ini dimanfaatkan sejumlah kaum ibu untuk foto bersama.
Pada kesempatan ini, Kato seolah mengalahi pesona lelaki yang menikahinya sejak 16 September 2006 lalu itu. Berdesak-desakan, rela antre hingga bertukar nomor telpon mewarnai “sesi pemotretan” bersama wanita muda kelahiran Makathi, Filipina ini.
Ketika alumnus jurusan psikologi dari Assumtion College (AC) yang mengaku setia dalam hidup dan mati menjalin cinta dengan aktor film “Laksama Cheng Ho” ini ditanya tentang kesiapannya menjadi “First Lady” apabila Yusril Ihza Mahendra terpilih dalam Pemilu Presiden 2009 mendatang, ia tersenyum. “Pasti sudah siap,” ungkapnya lirih.
Kesiapan kato ditunjukkan dengan memberikan support, masukan pendapat dan selalu mendampingi kemanapun Yusril bepergian. Dalam setiap kunjungan Yusril di berbagai pelosok desa, Kato memastikan ada di sisinya.
Apalagi, sambung Kato, pada akhir-akhir ini intensitas roadshow politik sang suami kian tinggi dibanding saat menjabat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) lalu. “Mendampingi suami banyak menambah pengalaman saya, dan saya semakin mencintai Indonesia,” tutur Kato.

Mengubah Citra Erotis Tarian Cokek


“Selendang (bahasa chinanya cukin) yang dikalungkan merupakan tanda undangan bagi tamu lelaki yang ikut ngigel di panggung,” kata pimpinan group Gambang Kromong, Maman Setiawan (59) atau yang dikenal dengan nama koh Wie Tiang ketika ditanyakan tentang cukin atau tari Cokek.
Tarian ini menjadi pemandangan biasa di rumah kawin saat warga keturunan Tionghoa menjalani ritual upacara pernikahan (Chiou Thoau). Biasanya acara menari bersama ini berlangsung dua hari dua malam. Beberapa gadis berbedak tebal dan berselendang awalnya hanya menari di depan tetamu. Perlahan, bersama alunan gambang kromong, mereka mulai menggoda para tamu lelaki hingga “ritual” pengalungan selendang.
Jika selendang sudah dikalungkan, pantang bagi si tamu menolak ajakan. Menolak ajakan ngigel (berjoget) berarti menorehkan aib ke diri sendiri, karena dianggap tak mampu memberikan uang saweran pada si penari. Orang yang dipilih menari bersama para penari cokek biasanya juga bukan orang sembarangan. Tokoh masyarakat dan orang kaya setempat mendapatkan kesempatan pertama.
Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, budaya tari cokek diperkirakan sudah ada dan berkembang di perkampungan pesisir Tangerang sejak awal abad ke-19. Pada zaman itu Tangerang dikuasai tuan-tuan tanah yang biasa menggelar pesta hiburan sebagai ajang unjuk gengsi. Salah satunya Tan Sio Kek yang menguasai daerah Tanjung Kait, pesisir utara Kabupaten Tangerang.
Alkisah Tan Sio Kek memiliki kelompok musik yang beranggotakan tiga orang Tionghoa bertocang (rambut kepang satu). Kabarnya ketiga pemusik ini didatangkan langsung dari Zhangzou, Hokkian bagian selatan, tempat asal nenek moyang perantau Tionghoa Indonesia. Kelompok musik ini kemudian menyisipkan tarian yang dibawakan para gadis sebagai daya tarik tambahan. Konon dari nama tuan tanah Tan Sio Kek inilah nama tari cokek dikukuhkan.
Tari cokek ditarikan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tarian khas Tanggerang ini diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya. Sementara tarian cokek sendiri mirip sintren Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.
Koh Wie Tiang (70), pemimpin Kelompok Tari Cokek Shinta Nara di daerah Teluk Naga, Tangerang yang mengaku keturunan keenam yang menjalani usaha ini membawahi sepuluh perempuan penari dan tujuh pemain musik. Sementara alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian cokek tidak jauh berbeda dari gambang kromong Betawi. Rebab dua dawai yang disebut Khong a yan, suling, kempul, gong, kendang, dan kecrek mengiringi lenggak-lenggok para penari cokeknya. “Biasanya saya kalau dipanggil pentas dua hari dua malam kami tetapkan tarif sebesar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta,”kata Koh Wie Tiang. Uang itu selanjutnya, dibagi rata dengan seluruh awak.
Biasanya, lanjut Koh Wie Tiang, pertunjukan dimulai pukul 21.00 hingga tengah malam. Kemudian dilanjutkan kembali esoknya dari pukul 10.00 hingga tengah malam lagi. “Lagu-lagu yang biasa kita bawain antara lain Gelatik Nguk – nguk, Cente Manis Dipatok Burung, Surilang Enjot-enjotan dan lain-lain,” katanya lagi.

Berharap Tanpa Erotisme
Tarian erotis bagi tari Cokek memang begitu melekat sehingga membuat preseden negatif terhadap kesenian ini. banyak pula yang mencoba untuk menghilangkan kesan buruk ini. ”Kami juga ingin menjadikan cokek sebagai sebuah seni bermutu dengan menghilangkan unsur erotisme di dalamnya. Namun kami tidak ingin menghilangkan beberapa unsur penunjang yang kaya dengan budaya campuran Cina, Betawi dan Jawa ini,” tutur Jaelani, salah satu pemain te yan dan juga kerap pembina cokek ini yang ditemui, Rabu kemarin seraya mengatakan hal itu juga harus ditunjang oleh keikutsertaan pemerintah untuk melakukan pembinaan.
upaya lanjutnya, cokek tak lagi mengesampingkan unsur erotisme sebagai daya tarik tapi menekankan dinamisme gerak si penari. Sehingga orang mau menonton tariannya dan bukan erotisme seperti selama ini yang menjadi kesan.
“Mudah-mudahan cokek dapat menjadi sajian manis tanpa unsur erotis,” katanya. (Tangerang Tribun)

Kamis, 18 September 2008

Tak Gadai Barang, tak punya Uang

(Pegadaian Mulai Ramai)

Banyak jalan menuju Roma, banyak pula cara untuk mendapatkan uang menjelang lebaran tiba. Jika sebagian orang membanting tulang dengan beragam cara seperti keras bekerja, bahkan ada yang rela terjerumus ke lembah nista. Namun tidak demikian bagi Lisa Munassih (32).


Warga Rt 01/05 Griya Loka BDS, Serpong, ini memilih untuk “Mengatasi masalah tanpa masalah”. Yah, slogan itu menurut dirinya adalah cara yang paling aman untuk bisa berlebaran kelak bersama keluarga. Didatangilah jasa pegadaian untuk bisa mendapatkan uang membeli keperluan baik pakaian dan kue lebaran.
Ia gadaikan barang elektronik berupa televisi berwarna 29 inch dan DVD player miliknya di Pegadaian Cabang BSD, Kecamatan Serpong Utara, Kabupaten Tangerang.
Selain bisa mendapatkan uang, cara ini untuk mengamankan harta bedanya dari aksi kejahataan saat rumah kontrakannya kosong ketika ditinggal mudik. "Setiap kali mudik, saya selalu menggadaikan barang-barang di kantor ini. Selain demi keamanan, menggadaikan barang di kantor pegadaian bisa dapat duit, lumayan buat tambahan," tandas Lisa yang berasal dari Lampung.
Serupa dengan Lisa, Chairil Anwar (54) warga Rt 04/03 Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong Utara, menggadaikan barang-barang berharga di kantor pegadaian. Baginya menggadai barang sebagai satu-satunya langkah yang paling tepat selama mudik berlebaran di kampung halaman. Menggadaikan barang dinilai lebih aman, daripada ditinggal di rumah atau kontrakan. "Ya ngeri saja. Daripada di kampung nanti kepikiranterus, mending digadaikan dulu. Nanti kalau balik ke sini ditebus lagi," ungkap pria asal Surabaya itu.
Chaeril sendiri telah menggadaikan motor Honda Supra X 125cc miliknya. Sebab, pada mudik lebaran nanti, dia memilih naik kereta ketimbang menggunakan sepeda motornya. “Mending motornya digadein aja, lumayan buat tambahan pulang kampung," ujarnya.
Menjelang 2 minggu kedepan hari raya, Perum Penggadaian nampak terlihat lebih ramai dari hari biasanya. Puluhan orang hilir mudik dengan membawa barang-barang berharga seperti barang elektronik, sepeda motor, dan perhiasan emas untuk digadaikan.
Manajer Tata Usaha Perum Pegadaian Cabang BSD, Kecamatan Serpong Utara, Kabupaten Tangerang AA Rai Indrawati mengatakan, meski tidak signifikan, intensitas warga yang datang menggadaikan barang menjelang mudik lebaran ini mulai menunjukkan peningkatan. Biasanya, kata dia, jumlah orang yang menggadaikan akan terus meningkat seiring dekatnya hari raya Lebaran. "Berdasarkan pengalaman tahun lalu, saat mendekati lebaran, biasanya nasabah semakin meningkat," ujarnya.
Barang-barang yang paling banyak digadaikan nasabah, kata Rai, adalah perhiasan jenis emas dan elektronik, namun, sayang ia tidak merinci berapa rata-rata uang yang dikeluarkan setiap hari dalam transaksi barang itu. "Untuk masalah itu, kami belum menghitungnya," ungkapnya.

Gunung Krakatau Tetap Mempesona


Bersama Ujung Kulon, Sunset di Selat Sunda, Pulau Sanghyang, Pulau Sebesi, Suku Baduy dan Situs Arkeologi Banten Lama, Gunung Krakatau dijuluki sebagai Seven Wonders of Banten. Ya, Krakatau menjadi sesuatu yang menarik namun mengerikan. Krakatau menarik dengan keindahan yang ditampakannya saat ini, namun sangat mengerikan jika kita mendengar atau membaca cerita kedahsyatannya saat mengamuk dan melantakkan daratan Banten dan Lampung.

Pada musim kemarau, antara Mei hingga September, gelombang dan arus laut tidak begitu liar. Cuaca juga bersih benderang. Perjalanan dengan kapal di Selat Sunda menjadi nyaman. Dari kejauhan, keanggunan gunung yang pernah menggemparkan dunia karena letusannya pada 27 Agustus 1883 itu juga sudah kelihatan.
Apalagi bila perjalanan dilakukan sesaat sebelum matahari tenggelam. Aneka warna sinar yang tercurah membuat suasana benar-benar berubah. Sangat menyentuh perasaan. Selain berpanorama indah, di sekitar Krakatau juga dimungkinkan untuk melakukan berbagai kegiatan rekreasi. Selam, renang, snorkling bisa dilakukan sambil menikmati matahari terbenam.
Secara administratif, pulau bergunung api di Selat Sunda ini sebenarnya masuk dalam wilayah Provinsi Lampung. Gunung ini telah dikenal dengan baik dan tercatat dalam sejarah sejak abad 16. Saat itu Selat Sunda telah menjadi jalur lalulintas bisnis yang ramai dari Eropa menuju Hindia Barat (Indonesia). Kini Selat Sunda juga memegang peranan penting sebagai jalur lalu lintas bisnis dan lapangan penelitian ilmu geologi dan kelautan.
Krakatau, dulu diperkirakan memiliki ketinggian 2.000 meter dengan radius 9 km2. Ledakan dahsyat pernah terjadi pada tahun 416, sebagaimana tercatat dalam buku jawa kuno Pustaka Raja, dan menyisakan 3 buah pulau yakni pulau Rakata, Sertung dan Panjang.
Dalam perkembangannya Rakata memunculkan puncak-puncak Danan dan Perbuatan. Ledakan yang lebih dahsyat pada tangal 27 Agustus 1883 telah menghancurkan 3/4 bagian tubuhnya dan menyebabkan gelombang besar dengan ketinggian 40 meter.
Konon sebuah bagian kapal di Pelabuhan Teluk Betung sampai terlempar sejauh 2,5 km akibat letusan itu. Hujan abu dan batunya mencapai areal seluas 483 km2 dalam radius 150 km2. Pada waktu itu Jakarta dan daerah sekitar Selat Sunda, seperti Anyer, Merak, Labuan, Kalianda, Teluk Betung dan Kota Agung menjadi gelap gulita. Suara ledakannya terdengar dari Pilipina hingga Madagaskar. Kekuatan ledakannya diperkirakan mencapai 21.547,6 kali ledakan bom atom.
Lalu setelah beristirahat selama 44 tahun, Anak Krakatau muncul pada Bulan Desember 1927 dan terus berkembang hingga kini. Saat ini, Anda bisa menapakkan kaki di anak gunung itu untuk melakukan penelitian ilmiah atau pun sekedar rekreasi.
Perjalanan rekreasi bisa Anda mulai dengan mendirikan tenda di kaki gunung Anak Krakatau atau biasa pula disebut pulau Rakata. Dari situ Anda bila memili kegiatan di laut seperti berenang, menyelam atau snorkeling. Sementara untuk kegiatan darat, Anda bisa melakukan tracking mengelilingi pulau Rakata.
Untuk kegiatan tracking ini sebaiknya dilakukan jangan sampai melewati matahari terbenam. Ini semata untuk menghindari air pasang sehingga Anda tidak terjebak di suatu tempat dan tidak bisa kembali ke tempat Anda mendirikan tenda. Karena sangat berbahaya, bila Anda memilih acara pendakian menuju puncak Krakatau, Anda perlu ijin khusus dari Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA), Departemen Kehutanan, supaya bisa mendapatkan pendamping dan penunjuk jalan yang bisa diandalkan.
Sekarang, Anak Krakatau telah mencapai ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dengan diameter 2 km. Untuk mengunjunginya Anda bisa berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priuk dengan naik Jet-Foil atau Kapal Phinisi Nusantara. Jalur kedua adalah dari Pelabuhan Labuan, Banten. Dari sini Anda dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang berkapasitas antara 5 sampai 20 orang.
Jalur ketiga bisa ditempuh melalui Pelabuhan Canti, Kalianda-Lampung. Di pelabuhan ini Anda juga dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang akan menempuh Krakatau melalui P. Sebuku dan P. Sebesi. Pada bulan Juli saat Pemda Provinsi Lampung menggelar Festival Krakatau, Anda bahkan bisa ikut menyeberang ke pulau itu. Sedang dari kawasan Anyer dan Carita, sejumlah hotel juga punya paket mengunjungi Krakatau. Silakan pilih cara sesuai kemampuan.(lim/berbagai sumber)

Senin, 15 September 2008

Perang Petasan Berujung Petaka

(Sebuah Catatan Lepas)
Terlalu sayang nyawa melayang, hanya gara-gara petasan. Enam remaja tak berdosa meninggal mengenaskan saat menghindari tawuran setelah “perang petasan” antar kampung, Minggu (14/9) kemarin, di Setu Sasak Kecamatan Pamulang (lih. Tangerang Tribun, 15/9/2008).
“Siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggung jawab atas insiden ini?, hingga enam remaja itu tenggelam di Setu Sasak?”, itulah beberapa pertanyaan tersisa yang kerap terlintas pasca peristiwa naas itu.
Namun seyogyanya, yang perlu dilakukan secara bersama-sama adalah menjernihkan persoalan agar tidak meluas menjadi petaka-petaka baru. Disamping mempercayakan proses hukum yang telah ditangani pihak berwenang, alangkah baiknya apabila seluruh pihak belajar dan mengambil hikmah atas kejadian tersebut.
Sembari mendoakan agar korban tak berdosa diterima disisi-Nya, baik para orang tua, warga kedua belah pihak, aparat dan masyarakat secara luas tidak lagi membiarkan anak-anak mereka “bermain api” (sebut saja perang petasan yang sering menjadi tradisi di sebagian masyarakat) dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Karena bermain petasan ini, dalam banyak peristiwa, telah menjadi pemicu perkelahian hingga kematian. Memang tidak mudah untuk menghilangkan secara total kebiasaan bermain petasan itu, tetapi bisakah langkah terkecil sudah mulai dilakukan. Diantaranya melakukan penyadaran terhadap anak-anak bagi orang tua dan pendidik, melakukan penertiban atau memberi sanksi tegas terhadap “pemain petasan” oleh aparat dan upaya-upaya lainnya.
Sejarah pernah mencatat, pejuang bangsa meneteskan darah penghabisan hanya untuk melawan penjajahan. Mereka berjuang untuk sebuah tujuan “Merdeka!”. Agar kelak anak-cucuk mereka bisa hidup menikmati kebebasan; bebas dari ketakutan, bebas dari kebodohan dan mungkin bebas dari penindasan. Dengan itu pula, para pendiri bangsa ini berharap (selanjutnya) Manusia Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat, bebas berkreativitas, bebas mencipta hingga bebas memberikan manfaat bagi bangsanya.
Namun sejuta ironi ketika peristiwa “berdarah” terhidang di depan mata sekarang; dengan mudahnya nyawa melayang hanya dipicu kesalah pahaman bermain petasan. Padahal diluar sana, masih banyak energi yang harus ditumpahkan dan dicurahkan untuk kepentingan masyarakat. Demi bangsa ini, tak ada lagi perselesihan kecil memakan korban jiwa dan tak ada lagi upaya kekerasan menjadi satu-satunya cara dalam menyelesaikan setiap masalah. Kelak, kedamaian dan kebersamaan terjalin kokoh saat masyarakat majemuk ini maju membangun negeri.

Pementasan Teater Perempuan Gerabah


"Teror Menakutkan dari Sang Tanah Liat… "

Suasana lengang yang sudah berlangsung selama kira-kira 15 menit, tiba-tiba pecah menjadi histeris, atau persisnya setengah menjerit, yang keluar dari ratusan mulut yang tengah menyaksikan pementasan teater dengan lakon Perempuan Gerabah.
Dari atas panggung, empat aktor yang hanya mengenakan kain putih untuk menutupi sebatas pinggang hingga paha dan seorang aktris, berpakaian bak pendekar dalam film silat, terus bergerak nyaris tanpa henti. Mereka meliuk, meloncat, berlari, berputar, merangkak, merunduk, menjengking, dalam ritme yang teratur satu sama lain, hingga sampai pada tahap seperti ekstase atau mungkin juga lelah.
Para aktor yang kelelahan itu terjuntai di bibir panggung. Tubuh telanjang para aktor yang sudah dipenuhi peluh itu kemudian satu-persatu dibaluri menggunakan tanah liat encer nyaris seperti lumpur tadi oleh sang aktris. Gerakan seniwati nampak artistik bahkan mungkin nyaris erotis.
Bagaimana tidak, tubuh telanjang para aktor itu disusuri oleh telapak tangan lembut sang aktris yang memegang lumpur, sejak kepala, turun ke leher, dada, punggung hingga pinggang, untuk kemudian meloncat menyusuri bagian kaki.
Pertunjukan sepanjang satu setengah jam dalam temaram sinar lampu itu diakhiri dengan naiknya seorang perempuan tua ke atas panggung yang dalam hitungan menit berhasil membuat gerabah dari tanah liat, setinggi 15 Cm.
Kedua tangan tuanya yang tampak sibuk mengarahkan gerak naik lumpur, kaki sebelah kirinya juga tak kalah sibuknya memancal alat tradisional pembuat gerabah agar terus berputar tanpa berhenti. Bila pemancal itu berhenti, berarti harus menanggung resiko.
Perempuan tua itu berdiri dan mengusung gerabah hasil karyanya yang masih basah. Dia Nampak bangga dengan gerabah hasil karyanya. Dia memutar-mutar gerabah itu mengelilingi panggung. Tepuk tangan penontonpun membahana.
Beberapa penonton bahkan bangkit dari duduknya dan pindah mencari tempat duduk lain yang lebih aman. Beberapa lagi tampak berusaha melindungi wajah atau badan mereka dari cipratan lumpur yang tengah dilempar-bantingkan para seniman di atas panggung.
Teror tanah liat liat tidak berhenti sampai di situ. Pada bagian berikutnya, para seniman teater bermanuver dengan mengusung masing-masing satu buah gerabah di tangan. Gerabah atau benda yang biasa digunakan sebagai peralatan dapur dari tanah liat itu diputar-putar, dilempar untuk kemudian ditabrakan satu sama lain dan braaak! Pecah berantakan.
Jeritan penonton semakin menjadi. Pecahan-pecahan gerabah yang berserakan di lantai panggung itu lalu diraup oleh para aktor untuk kemudian dihambur-hamburkan. Tak pelak meski tidak banyak, ada juga pecahan-pecahan gerbah itu yang berhasil menerjang penonton.
Konstruksi panggung kayu berbentuk bundar setinggi setengah meter itu memang hanya berjarak tidak lebih dari satu meter dari tempat duduk penonton terdepan yang sengaja dibuat melingkari panggung.
Bagi penonton yang berada dibelakang tempat duduk terdepan diposisikan lebih tinggi, dan begitu seterusnya sehingga berundak-undak layaknya menonton di istana olahraga (Istora). Tapi tentu saja, ukurannya jauh lebih kecil. Kapasitasnya pun paling banter cuma akan bisa menampung kurang dari seratus penonton.
Layaknya pementasan teater genre visual yang tidak menghadirkan dialog verbal dalam kisahnya, pementasan Perempuan Gerabah karya Sutradara Nandang Aradea di Cafe Oregano, Serang, malam itu juga nyaris tanpa kata. Yang ada hanya gerakan tubuh empat aktor bertelanjang dada dan seorang aktris berbusana ala pendekar silat yang berpendar ditimpa redup sinar lampu panggung.
Bunyi-bunyian hanya yang berasal dari derap kaki aktor dan aktris saat menjejak papan lantai panggung atau dari ditabrakannya gerabah-gerabah hingga pecah berantakan. Bagi penonton awam, teater bukan pertunjukan menarik, diantaranya pulang dengan menyisakan kebingungan.
Namun bagi yang gandrung teater, pertunjukan gerak tubuh itu pun berakhir menyisakan pesan. Nandang menyebut, masyarakat Desa Bumijaya, Kecamatan Ciruas yang umumnya bermatapencaharian pengrajin gerabah selama puluhan tahun, hingga hari ini tetap miskin dan terbelakang.
"Saya yakin penonton teater kita sudah pada cerdas. Mereka memang tidak perlu memiliki pemahaman tentang apa yang ditontonnya. Biarkan menyimpukan sendiri. Saya ingin penonton pulang membawa ingatan tentang bagaimana mereka begitu terteror sepanjang pertunjukan," kata Nandang.(Banten Tribun)

Jumat, 12 September 2008

Komunitas Sepeda Jalur Pipa Gas


Mungkin ini salah satu jalur cukup menantang dan tepat bagi penggemar sepeda gunung. Bergabunglah di Jalur Pipa Gas (JPG), Serpong, Kabupaten Tangerang. Sebuah komunitas para penggila sepeda gunung yang banyak digemari orang.
Asal-usul nama Jalur Pipa Gas atau disingkat menjadi JPG itu bermula dari trek yang dilalui para penggila sepeda ini dalam mengayuh sepedanya memang berada di jalur pipa gas antara Merak hingga Balongan Cirebon. Khusus untuk JPG di Serpong yang terletak di wilayah Lengkong Gudang Timur jalur pipa gasnya hanya sepanjang 500 m saja.
Komunitas JPG itu sendiri awalnya terdiri dari beberapa komunitas sepeda lainnya, seperti Explorer, Kencana Bike, Bintaro, Guest Trust dan sebagainya. Sedangkan yang bertahan hingga kini hanya sekitar tiga komunitas saja, Explorer, MTB Rockers dan PJMI. Hanya saja yang menjadi founder dari Komunitas Sepeda Gunung JPG ini adalah komunitas seperti Explorer, Bintaro dan Kencana Bike.
Hingga kini jumlah anggota dari Komunitas Sepeda Gunung JPG mencapai lebih dari 500 personil, mulai dari usia 8 hingga 83 tahun. Serta terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, pengusaha, dokter, pengacara hingga birokrat.
Setiap Sabtu dan Minggu, para anggota JPG ini sering berkumpul dan menjalankan hobinya mulai pukul 07.00 hingga 12.00 WIB. Selain itu hari-hari biasanya juga banyak yang menikmati trek sepeda gunung yang terdapat di Lengkong Gudang Timur itu.
Di lokasi tersebut memang cukup mengasikan. Terdiri dari 34 persen climbing/tanjakan, 32 persen desending/turunan, 34 persen flat/medan datar serta dua jalur 94 persen single track/jalur sempit dan 6 persen wide track/jalur lebar.
“Awalnya saya hanya berpetualang seperti biasanya saja, lalu berdasarkan feeling untuk bisa membuat track di sini karena banyak handicapnya, ya jadinya seperti hingga sekarang ini,” kata Indarwanto, salah satu sesepuh yang juga pencetus Komunitas Sepeda Gunung JPG.
Merintis JPG di wilayah ini Indarmanto tidak sendiri, dirinya bersama dengan delapan hingga sepuluh rekannya tertarik menjadikan jalur tersebut sebagai JPG. Dimana kawasannya terletak diantara Sektor 9 Bintaro hingga Sektor 14 BSD.
Track bersepeda gunung yang pernah dijadikan sebagai medan untuk kejuaraan JPG MTB Series yang bertaraf tingkat nasional ini, memiliki tiga variasi jalur, jalur wisata, jalur JPG I dan jalur JPG II.
Jalur wisata adalah jalur yang kebanyakan dilalui oleh serombongan keluarga lantaran medan yang dilalui tidak terlalu ekstrem sebagai jalur santai. Sedangkan untuk jalur JPG I dan II adalah sebutan untuk trek bersepeda gunung yang sebenarnya. Hanya saja perbedaannya ada pada panjang jalur di kedua trek tersebut, jalur JPG I memilki panjang 5 Km dan jalur JPG II memiliki panjang 6,5 KM. Namun untuk jalur JPG II sudah jarang dilalui, karena sulitnya melakukan perawatan track yang dinilai cukup memakan pendanaan.
Jalur Sepeda Gunung JPG ini sebenarnya memiliki kans besar sebagai salah satu objek wisata yang menarik di Kabupaten Tangerang. Hanya saja beberapa pihak salah satunya pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang belum terketuk niatnya untuk bisa melintasi jalur yang mengasikan ini jika dilalui pada pagi hari. Meskipun di dalamnya ada beberapa birokrat yang ambil bagian dalam keanggotaan tersebut.
Namun berdasarkan asal usul terkenalnya JPG ini hingga keluar wilayah Banten, yang berawal dari pembicaraan secara estafet dari ‘mulut ke mulut’, beberapa birokrat yang ada ingin mengajak sejawatnya untuk bisa menikmati jalur sepeda gunung yang berada di wilayah sektoral yang meliputi Lengkong Gudang Timur dan Parigi ini.
“Kalau saya pertama kalinya diajak oleh teman-teman saat masih sebagai Camat Pondok Aren, karena masyarakat di sana banyak juga yang gemar bersepeda, apalagi karena saya juga senang berolahraga. Melihat bagusnya kawasan ini, saya ingin bisa mengajak teman-teman birokrat yang lain untuk bisa bersepeda gunung di sini, terutama Camat Serpong, sebagai yang punya wilayah,” papar Yusuf Herawan, Camat Cisauk.
Kabarnya salah satu sponsor yakni, perusahaan produk sepeda gunung asal Taiwan, Giant tertarik mendirikan counter di dekat wilayah trek JPG, karena banyaknya komunitas bersepeda gunung yang menggunakan trek terbesar dan menarik di wilayah Jakarta-Tangerang ini.
Jalur bersepeda gunung JPG ini juga sempat menjadi medan untuk demo test drive bagi perusahaan sepeda, saat ingin meluncurkan produk sepeda keluaran terbarunya. Bahkan saking terkenalnya bukan saja masyarakat lokal yang ikutserta bermain di sini, warga negara asing yang bekerja di Jakarta ataupun di luarnya ternyata juga pernah merasakan kawasan yang memiliki beberapa treck yang memiliki nama unik, semisal jet coaster, tanjakan ngehe, turunan kuburan, tanjakan sumur, turunan kambing, turunan leter S dan sebagainya.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini bukan saja bersepeda atau sekedar melakukan turing. Kegiatan seperti kerja bakti ataupun bakti sosial di kawasan tersebut juga pernah dilakukannya. Hanya saja segala kegiatan tersebut tetap dilakukan secara spontanitas.
“Ya biasanya komunitas di sini hanya turing saja, seperti pergi ke Gunung Halimun, Gunung Mas dan tempat-tempat lainnya. Tapi itu semua juga tergantung momen atau moodnya,” tambah Yochi Hartono, pentolan yang juga sebagai Guide and Track Maintenance Komunitas Sepeda Gunung JPG.(Tangerang Tribun)

Menengok Kandank(g) Doank(g)


Di sore saat jalan-jalan, tanpa sengaja melihat bangunan aneh nun hijau yang oleh beberapa orang tetangga dikatakan sebagai sebuah “kandang” miliki Dik Doank (presenter dan pekerja seni).
Tepatnya di kawasan Ciputat, Kompleks Pondok Sawah Indah Kabupaten Tangerang, diatas lahan seluas 2.000 meter persegi itu, Dik Doank tinggal. Dengan penasaran, ingin sekali masuk dan melihat detil bangunan rumah sang selebritis yang sedang concern di bidang pendidikan anak ini.
“Kok kandang?”, pertanyaan awal yang terbesit. Namun setelah masuk didalamnya tak terlihat gajah, harimau, kerbau atau binatang peliharaan lain layaknya kandang.
Saat ditanyakan kepada si empunya rumah, Dik Doank hanya tersenyum sembari mengatakan “kandang” lebih pada falsafah hidup yang membiarkan kebebasan hewan (makhluk bernyawa) keluar-masuk di “hutan” miliknya ini.
Lebih dari itu, Dik Doank membebaskan anak-anak di lingkungan rumahnya, bahkan anak-anak dari tempat lain, untuk bermain dan berkegiatan di rumahnya.
Berbagai fasilitas ia sediakan untuk anak-anak, mulai dari lapangan sepak bola mini, lapangan basket, lapangan badminton, perpustakaan, areal outbond, panggung terbuka, panggung pertunjukan, dan taman bermain. Sejak pagi, terutama sore hari, anak-anak berbagai usia selalu mengisi halaman rumah.
Di “kandang”-nya itu, Dik Doank juga membangun rumah-rumah kayu, sebagian berbentuk rumah panggung, untuk bermacam fungsi. Ada studio musik, warung makan, tempat leyeh-leyeh (beristirahat), juga ruang kerja pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh Dik Doank yang diberi nama Rumah Induk Semang.
Rumah Induk Semang ini letaknya di atas. Untuk naik hanya ada tangga kayu sempit tanpa pegangan. Rumah ini ukurannya hanya sekitar 2 x 3 meter. Dari atas, pemandangannya luar biasa: sawah terbentang luas dengan semilir angin menyejukkan. Kadang kala, jika sedang beruntung dan langit tidak mendung, kata Dik Doank, ia bisa menikmati matahari terbenam dari ruang kerjanya itu.
Di sudut halaman lain, ada lima bangunan rumah yang belum selesai dibangun. Bangunan itu adalah rumah pintar yang nantinya akan digunakan untuk ruang pamer, kantor, perpustakaan dewasa dan anak-anak, serta ruang multimedia.
Di Kandank Jurank Doank, Dik Doank mendidik sekitar 2.500 anak untuk belajar mencari ilmu. Anak-anak diajak bermain dan didorong untuk mencipta. Pelajaran utamanya adalah menggambar. “Bahagia adalah bisa berbagi apa yang kita miliki dengan orang lain,” jawab Dik Doank ketika berniat membangun dan memfungsikan rumah ini.
Orang-orang yang datang ke rumah Dik Doank sering kali salah. Ketika turun dari kendaraan, biasanya mereka menuju ke sebuah rumah cukup besar dan mewah. “Itu bukan rumah saya, ini rumah saya,” tutur Dik Doank sambil menunjuk sebuah rumah sederhana, yang luasnya sekitar 120 meter persegi, di sebelah rumah besar itu.
Bangunan rumah yang menjadi tempat berteduh Dik Doank benar-benar teduh. Tanaman merambat dibiarkan naik sampai ke atas atap. Sebagian batang tanaman dibiarkan menjulur dari atap terasnya. Tidak takut ada ular? “Ular teman Tarzan,” tutur pria yang bernama lengkap RM Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma ini.
Rumah sederhana itu seperti museum bagi Dik Doank. Segala benda yang menandai perjalanan hidupnya ia pajang di dalam rumah. Bahkan, sebuah kloset pun mendapat tempat di ruang tamu. Kloset yang terbuat dari kayu itu merupakan imitasi dari kloset aslinya yang tentu saja ada di kamar mandi.
“Aku menciptakan karya-karya musik di kloset ini,” kata lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ketika pertama kali kloset itu dipajang di ruang tamu, salah satu anak Dik Doang mengencingi kloset itu karena dianggap kloset betulan.
Masih di ruang tamu itu, kalau kita mendongak ke atas ada meja bilyar yang tertancap di langit-langit. Meja bilyar itu bukan tanpa arti. Menurut Dik Doank, bilyar adalah salah satu permainan yang dekat dengan judi. Dengan menggantungnya di langit-langit, Dik Doank berharap segala bentuk kemaksiatan menjauhi dirinya.
Dengan segala materi yang dimiliki, Dik Doank mencoba hidup bersahaja. Ia bahkan tidak lagi memiliki mobil pribadi. Sebuah mobil kecil berwarna kuning yang terparkir di garasi adalah milik istrinya.
“Saya tidak punya mobil lagi. Kalau ada acara, saya selalu minta dijemput oleh penyelenggara,” ujar Dik Doank. Dari “kandang” itulah, Dik Doank membebaskan dirinya dan juga membebaskan anak-anak didik yang dicintainya untuk berekspresi.(aen/rz)

Selasa, 09 September 2008

Lumba-Lumba Lily akan Melahirkan


Salah satu lumba-lumba hidung botol yang diberi nama Lily berusia sekitar 17 tahun di Gelanggang Samudera Ancol (GSA) diperkirakan sedang hamil.
Tanda-tanda kehamilan Lily diketahui dari bentuk fisik maupun hasil dari analisa laboratorium. Pada bentuk fisik, adanya kehamilan bisa dilihat dari pembesaran pada bagian perut dan gerakan renang yang tidak selincah saat tidak hamil. Sedangkan pada hasil uji laboratorium, dari sampel darah yang diambil terlihat adanya peningkatan kadar hormon progesteron yang biasa ditemukan pada lumba-lumba yang sedang hamil.
Namun berbeda dengan lumba-lumba yang ada di alam liar, Lily terkesan tidak terlalu sensitif akan kehadiran manusia di sekitarnya. Hal ini tentu saja dapat terjadi, karena Lily adalah lumba-lumba yang lahir di GSA yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kehadiran manusia.
Keadaan tersebut juga mempermudah tim dokter hewan GSA untuk melakukan pemeriksaan dan pemantauan kondisi Lily dari hari ke hari. Bahkan tim dokter hewan GSA memperkirakan usia kehamilan Lily sudah menginjak usia 6 bulan, sehingga diperkirakan pada awal tahun depan Lily akan melahirkan.
Kelahiran bayi dolpin ini ini tidak hanya dinantikan oleh tim dokter hewan, karena proses kehamilan dan kelahiran lumba-lumba di dalam akuarium adalah hal yang sangat langka terjadi di Indonesia.
Selanjutnya pihak GSA berencana untuk menampilkan Lily dan beberapa lumba-lumba hidung botol lainnya dalam sebuah akuarium khusus yang merupakan akuarium terbesar dan satu-satunya di Indonesia yang diberi nama Fantasea Dolphin agar masyarakat luas bisa melihat kehidupan dolpin.
Sekedar diketahui, GSA sejak pendiriannya pada tahun 1974, telah merawat dan menampilkan keunikan serta kecerdasan dari lumba-lumba yang dapat dinikmati oleh pengunjung di pentas lumba-lumba. Sampai saat ini, sudah beberapa ekor lumba-lumba yang lahir di GSA di antaranya ialah Lily, Puput, Pipit, Rio, Hidros dan Juliet. Sesuai dengan misi GSA yang merupakan tempat konservasi ikut berkontribusi dalam menjaga kelestarian lumba-lumba melalui pemeliharaan dan pengembangbiakan spesies ini. Selain sebagai tempat konservasi, GSA juga mengemban misi pendidikan.
Jenis lumba-lumba yang dipelihara di GSA adalah jenis lumba-lumba hidung botol/Indo Pacific bottlenose dolphin (tursiops aduncus). Jenis lumba-lumba ini adalah salah satu jenis lumba-lumba yang dapat ditemukan di perairan Indonesia. Lumba-lumba ini dapat mencapai panjang tubuh maksimal hingga 4 meter dengan berat tubuh maksimal 600 kg serta dapat hidup hingga 40 tahun.

Parade Bedug "Rame-rame"


Sampoerna Hijau akan kembali menggelar parade bedug yang melintasi berbagai kota di Indonesia. Sedikitnya 19 kota dengan total jarak 10.000 KM menjadi perlintasan parade musik terpanjang ini.
Rencananya pesta rakyat melalui rute Pulau Jawa dan Pulau Sumatera tersebut mencatatkan rekor jarah tempuh terpanjang pada Museum Rekor Indonesia (MURI).
“Penyelenggaraan ini sudah yang kesebelas kali diadakan, mengingat kegiatan ini digelar tahunan dan terjadi hanya pada bulan Ramadhan. Tahun ini kami hadir dengan dua rute yang berbeda,” ungkap Brand Manager Sampoerna Hijau dan selaku Ketua Panitia Parade Beduk Suminto Alexander Hermawanto kepada, Senin (8/9).
Dalam parade bedug yang juga akan melintasi Provinsi Banten yaitu Kota Serang hingga Kota/Kabupaten Tangerang ditujukan untuk pelestarian budaya lokal Indonesia yang dilakukan hanya pada bulan Ramadhan.
Parade bedug yang mengambil tema “Budaya milik rame-rame” akan diawali dari Sumenep (P. Jawa) dan rute Sumatra bertolak dari Padang dan berakhir di Jakarta yaitu Depok pada, Minggu (21/9). Acara tersebut juga dimeriahkan para artis Ibukota antara lain, Nidji, Gigi, Andra and The Backbone, Ungu, Ari Laso, Pingkan Mambo, Agnita dan D’massive.

Minggu, 07 September 2008

Ziarah Masjid Seribu Pintu


Masjid Nurul Yakin atau lebih dikenal dengan sebutan masjid Sewu (seribu) memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan masjid lain di Banten. Selain memiliki seribu pintu, tasbih berukuran raksasa terpajang di salah satu sudut ruangan. Tak ada keterangan tertulis, apa makna dibalik aristektur bangunan itu.

Terletak di RT 01/03, Kampung Bayur, Priuk, Kota Tangerang. Pendiri masjid adalah seorang penyebar Islam kelahiran Arab bernama Alfakir Syekh Mahdi Hasan Alqudrotillah Almuqoddam. Salah satu keunikan masjid ini adalah ruangannya yang disekat-sekat hingga membentuk ruangan seperti mushola. Setiap ruangan (mushola) diberi nama. Ada mushola Fathulqorib, Tanbihul-Alqofilin, Durojatun Annasikin, Safinatu-Jannah, Fatimah hingga mushola Ratu Ayu. Masing-masing luas area mushola sekitar 4 meter.
Selain mushola, keunikan lain adalah tasbih berukuran raksasa terpajang di dalam ruangan. Memiliki 99 butir berdiameter 10 centimeter. Setiap butir bertuliskan nama Asma’ul-Husna. Konon, tasbih itu merupakan terbesar di Indonesia. Awalnya, masjid ini kurang begitu populer karena digerus zaman. Akan tetapi, setelah mulai dipublikasikan media, masjid itu kemudian banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai penjuru, bukan saja nasional tapi masyarakat internasional.
Supandi S, seorang pengurus masjid bagian publikasi menuturkan, hingga sekarang belum diketahui makna yang terkandung di balik arsitektur masjid yang memiliki seribu pintu itu. Tak ada keterangan tertulis dari pendiri masjid.
Kini, mushola di dalam masjid digunakan untuk aktifitas pesantren, seperti Tawasul, Dzikir hingga pengajian rutin.
Masjid seribu pintu diyakini sebagai salah satu tempat penyebaran Islam oleh pendirinya. Konon, penyebaran dilakukan dengan cara pembagian sembako untuk fakir miskin dan anak yatim piatu, “Sejarah di dalam masjid ini karena mempunyai pintu sebanyak seribu, selain itu cara penyebaran Islamnya dari beberapa generasi dengan cara pembagian sembako rutin setiap Jum’at,” ujar Supandi.
Menurutnya, masjid seribu ini menjadi salah satu tempat paling menarik bagi wisatawan. Tak hanya local tapi wisatawan asing. Seperti wisatawan dari negeri jiran (Malaysia), Brunai Darusalam, Tokyo hingga Singapura. Umumnya, mereka ingin mengetahui tasbih yang berukuran besar yang tertulis ayat-ayat Al Qur’an. “Mereka sangat kagum dengan tasbih itu,” katanya. Hanya saja, belum diketahui siapa pembuat dan sejak kapan tasbih itu dibuat. “Semuanya masih misteri,” pungkasnya.

Sabtu, 06 September 2008

Icip-Icip Ala Pasar Lama


Pasar Lama Kota Tangerang tidak hanya terkenal sebagai kawasan pecinan dengan kelenteng tuanya. Saat Ramadhan, kawasan ini menjadi Pasar Sore yang paling padat dikunjungi karena menawarkan rupa-rupa penganan khas. Sederet predikat seram yang disandang Tangerang akan kehilangan jejaknya di sini.

Bila Anda ingin berwisata kuliner saat bulan Ramadhan ini, Anda tak perlu jauh-jauh datang ke berbagai tempat taman jajan modern yang bertebaran di setiap arena mal. Anda cukup datang ke Pasar Lama Tangerang. Di sini, lidah Anda akan dibuat berdecak melihat sajian rupa-rupa penganan yang ditawarkan pedagang kaki lima.
Bermula dari tepi Jalan Kisamaun yang bisa diakses dari berbagai arah. Pasar Lama merupakan situs paling bersejarah karena di sinilah cikal bakal terbentuknya Tangerang. Bangunan berusia ratusan tahun berupa kelenteng besar Boen Tek Bio adalah salah satu bukti sejarah yang cukup fenomenal.
Konon, di wilayah ini pula masyarakat Tionghoa atau dikenal dengan Cina Benteng pertama kali datang lalu membangun tempat tinggal dan kemudian membentuk perkampungan. Seiring perkembangan zaman, kawasan ini lambat laun berubah menjadi kawasan niaga dengan tetap mempertahankan kultur budaya.
Pasar Lama melingkupi dua jalan (Jalan Kisamaun dan Kiasnawi). Keramaian setelah waktu siang hari, sebenarnya tak hanya terjadi pada saat Ramadhan. Ini juga terjadi pada bulan lain. Keberadaan pedagang kaki lima yang terkonsentrasi di ujung jalan dengan menawarkan beragam makanan khas menjadi daya tarik tersendiri. Hanya saja, saat Ramadhan, pengunjung akan berkalilipat memburu makanan.
Menyusuri Tangerang tidak klop bila tidak singgah di Pasar Lama. Bila Anda melaju di Tol Tangerang-Jakarta, Anda tinggal keluar Tol Kebon Nanas bila berniat ngabuburit ke Pasar Lama. Setelah melewati Jalan MH Thamrin dan sampai di Cikokol, Anda tinggal lurus terus melalui Jalan Perintis Kemerdekaan. Di sini, Anda akan melihat sejumput taman hijau nan rimbun berlatar gedung perkantoran. Kemudian dilanjutkan menyusuri tepian sungai Cisadane disisi kiri dengan taman bermain yang hijau dan asri.
Setelah melalui gedung PDAM Tirta Kertaraharja, Anda dihadapkan pada dua pilihan sulit. Karena ada dua akses jalan yang menanti kunjungan Anda. Yang satu Jalan Kisamaun menuju ke arah Pasar Lama dan satunya lagi jalan Kali Pasir. Dua-duanya sama pentingnya. Menyusuri Jalan Kali Pasir, Anda akan disuguhi pemandangan taman kota di sepanjang pinggir sungai Cisadane. Dahulu, kawasan ini adalah kawasan kumuh. Namun perlahan tapi pasti berubah menjadi kawasan hijau dan sejuk. Pasar Lama seolah menjadi simbol keseragaman budaya. Kota terkotor versi Adipura, kota tertinggi angka kriminalitasnya, kota penjara dan sebutan seram lain untuk Tangerang, akan kehilangan jejaknya ketika Anda mencicipi penganan di kawasan ini.

38.000 Petani Sekadar Penggarap

Kamsari (53), petani dari Desa Tigarasa, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, itu baru saja kembali dari menggarap sawahnya di Desa Tipar Raya, Kecamatan Tigaraksa. Dengan membawa seutas tambang dan satu buah karung, siang kemarin ia kembali ke rumahnya untuk sekadar mengistirahatkan tubuhnya dari peluh setelah hampir setengah hari ia habiskan waktunya di sawah kampung tetangga.


Di rumah berukuran 10 x 12 meter beratapkan rumbia dan berdinding bilik itu, Kamsari sudah hampir 7 tahun menjadi petani di sawah yang sebenarnya bukan miliknya. Ia menggarap sawah milik PT BCA Bank di Desa Tipar Raya Kecamatan Tigaraksa, Ibukota Kabupaten Tangerang.
“Saya diperbolehkan menggarap tanah itu oleh perusahaan. Yah, lumayan buat bantu-bantu ekonomi keluarga,” kata Jamsari saat ditemui, Minggu (7/9) di rumahnya yang reot itu.
Suami dari Umihani yang memiliki dua anak ini, Laila (16) dan Sali (9) mengaku, sebelumnya tanah itu merupakan milik warga sekitar yang juga digarap olehnya. Namun, sudah hampir empat tahun ini sawah itu telah berpindah tangan ke PT BCA Bank.
“Alhamdulilahnya, saya masih diperbolehkan memanfaatkan lahan tersebut untuk digarap,” jelasnya.
Belakangan ini, ia kembali bingung dengan rencana PT BCA yang akan segera membangun lahan miliknya. “Bingung, mau kerja apa lagi kalau lahan itu betul-betul dibangun,” tambahnya.
Diceritakan lelaki yang merupakan penduduk asli Desa Tipar Raya, Kecamatan Tigaraksa itu, sebelum menjadi petani, ia memiliki usaha warung sembako. Namun karena persaingan semakin ketat dan dirinya tidak memiliki modal yang cukup untuk bersaing, akhirnya usahanya itu bangkrut. Sekadar untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya saja, ia kerap menjual sisa dagangannya.
“Akhirnya saya banting stir dengan menjadi petani di sawah milik H Tabrani, orang kampung sebelah,” paparnya.
Ditanyakan tentang petani sekitar, ia mengatakan hampir dari 100 petani di Kecamatan Tigaraksa menggarap sawah milik perorangan atau sekadar memanfaatkan lahan tidur atau milik perusahaan.
“Memang tidak ada pajak, namun sewaktu-waktu mereka gunakan, ekonomi kami pun ikut terancam,” keluhnya seraya menambahkan kalau pemerintah menyediakan lapangan kerja sebagai petani dirinya siap menjadi pekerjanya.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang, Deden Soemantri mengatakan, hampir 70.000 petani yang tersebar di Kabupaten Tangerang, 70 persennya atau hampir dari 38.000 petani menggarap sawah yang bukan miliknya.
“Hal ini kami ketahui ketika melakukan pelatihan melakukan penanaman yang efektif terhadap padi dan jenis tanaman lain,” ungkap Deden dan menambahkan selebihnya merupakan pemilik lahan.
Ia memperkirakan, para petani yang menggarap sawah milik perusahaan atau pengembang terjadi di sejumlah daerah seperti Kecamatan Pagedangan, Kecamatan Rajeg, Kecamatan Tigaraksa dan sejumlah daerah lainnya.
“Soal kepemilikan lahan secara detailnya kami tidak melakukan pendataan,” tandasnya.

Jumat, 05 September 2008

Lahan Pertanian Terus Menyusut

TANGERANG TRIBUN – Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan dan sentra perdagangan semakin tidak terkendali. Konsistensi pemerintah daerah untuk menerapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) sebagai sentra pertanian kerap terabaikan karena alasan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Kabupaten dan Kota Tangerang merupakan daerah di Banten yang lahan pertaniannya mengalami penyusutan sedemikian cepat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tangerang sensus dari tahun 2000 hingga 2005, dari total 310.000 hektar lahan pertanian yang tersebar di wilayah utara dan barat menyusut sampai 10.000 hektar. Kecamatan Rajeg, Tigaraksa, Panongan dan Pagedangan merupakan daerah dengan keberadaan lahan pertanian yang telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, kawasan industri besar maupun sedang serta tidak ditanami padi lagi.
Di Kota Tangerang, lahan pertanian juga mengalami nasib yang sama. Menurut catatan Dinas Pertanian Kota Tangerang, dari total 18.000 lahan pertanian yang tersebar di Kecamatan Neglasari, Benda, Priuk, Cipondoh dan Karawaci, kini hanya tinggal 757 hektar saja. Terus menyusutnya lahan pertanian lebih banyak telah beralih menjadi industri, perumahan serta perluasan Bandara Soekarno-Hatta, khusus untuk di Kecamatan Neglasari.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang menjamin, dengan keberadaan lahan sawah Kabupaten Tangerang yang kini hanya menyisakan sekitar seluas 300.000 hektar dapat memenuhi stok pangan di Kabupaten Tangerang.
“Karena satu hektar sawah saja hasil produksi mencapai 5 hingga delapan ton, dikali saja dengan luas seluruhnya areal sawah. Dengan capaian itu, sebenarnya Kabupaten Tangerang masih dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat 1,3 juta jiwa selama hampir setengah tahun,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang Deden Soemantri, Kamis (4/9).
Ia menjelaskan, alih fungsi lahan pertanian banyak terjadi di Kecamatan Teluk Naga dan Rajeg. Karena Kecamatan Rajeg yang juga salah satu daerah pertanian, kini sudah banyak berdiri kawasan perumahan yang lebih banyak memanfaatkan lahan pertanian.
“Di Rajeg, kira-kira lebih dari 500 hektar sawah sudah berdiri perumahan,” jelasnya lagi.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tangerang, Kris Marta menjelaskan, dari data tahun 2000 hingga 2005, tercatat peralihan lahan pertanian menjadi industri dan perumahan mencapai hingga 10.000 hektar. Di antaranya terjadi di Kecamatan Rajeg, Tigaraksa, Panongan Pagedangan.
“Kecenderungan peralihan ini terjadi di empat daerah ini. Salah satu tandanya dengan berubahnya tingkat ekonomi masyarakat,” kata Kris.
Lebih jauh ia mengatakan, perubahan lahan pada areal sawah cenderung tidak terjadi di bagian utara Kabupaten Tangerang. Seperti di Kecamatan Kronjo, Pakuhaji, Sepatan, Sukadiri dan bagian utara lainnya yang merupakan sentra pertanian.
“Ini merupakan salah satu dampak dari pembangunan yang belum menyentuh secara merata ke bagian utara Kabupaten Tangerang,” ujarnya.
Kepala Dinas Tata Ruang Kabupaten Tangerang Didin Samsudin menyebutkan, penataan wilayah yang terus diperbaharui karena dampak penanaman investasi di bidang industri dan perumahan sedikitnya mempengaruhi keberadaan lahan areal sawah di Kabupaten Tangerang.
“Ya, ini kan dampak dari pembangunan dan kemajuan Tangerang. Namun penataan ini kami juga mempertimbangkan sektor unggulan di sebuah wilayah. Hanya barangkali perubahannya tidak ekstrem,” pungkasnya.
Tingkatkan Produktivitas
Menanggapi banyaknya areal lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi perumahan dan industri, Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Tangerang, Togu Perdamean Tobing menyatakan, hal itu terjadi karena salah satu konsekuwensi pembangunan di Kabupaten Tangerang. Namun ia mendesak, harus ada langkah kongkrit dari pemerintah daerah dengan cara membuat kebijakan untuk menggantinya dengan cara peningkatan produktivitas pertanian.
“Daerah kita kan merupakan penyangga Ibukota, konsekuwensinya adalah peningkatan pembangunan. Tapi harus ada upaya pemerintah daerah untuk menggantinya dengan menjaga ketahanan pangan masyarakat,” kata politisi PDIP ini.
Meski demikian ia mengaku kecewa dngan banyaknya areal persawahan yang telah beralih fungsi tersebut. Bahkan ia menilai hingga kini pemerintah daerah belum melakukan upaya untuk melakukan peningkatan produktivitas padi. “Janganlah kita berbicara lagi lahan yang sedikit, karena cepat atau lambat Kabupaten Tangerang akan diserbu oleh banyaknya perumahan dan industri. Tapi kita harus konsisten untuk memanfaatkan lahan yang produktif agar mampu menjaga ketahanan pangan kita,” tandasnya seraya menambahkan mekanisasi petani menggarap sawah, mesinisasi, mutu padi dan sebagainya merupakan satu hal penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah daerah.
Diganti Produk Unggul
Terus menyusutnya lahan pertanian di Kota Tangerang pada tahun lalu sekitar 1.101 hektar dan kini hanya tersisa 757 hektar harus diubah pola tanam pertanian yang mengandalkan produk unggulan.
Kasubdin Pertanian Dinas Pertanian Kota Tangerang, Sunarto, Kamis (4/9), menuturkan, telah beralih fungsinya lahan pertanian di Kota Tangerang menjadi perumahan bahkan industri hanya akan memanfaatkan lahan yang ada sebagai lahan pertanian. Karena sekarang ini, pertanian di kota sudah beralih kepada pertanian yang sifatnya tidak terlalu membutuhkan banyak lahan tidak seperti pengembangan pertanian dengan cara tradisional. Karenanya petani di sana akan dibekali keahlian dalam hal pengembangan tanam hias.(Tangerang Tribun)