Senin, 15 September 2008
Pementasan Teater Perempuan Gerabah
"Teror Menakutkan dari Sang Tanah Liat… "
Suasana lengang yang sudah berlangsung selama kira-kira 15 menit, tiba-tiba pecah menjadi histeris, atau persisnya setengah menjerit, yang keluar dari ratusan mulut yang tengah menyaksikan pementasan teater dengan lakon Perempuan Gerabah.
Dari atas panggung, empat aktor yang hanya mengenakan kain putih untuk menutupi sebatas pinggang hingga paha dan seorang aktris, berpakaian bak pendekar dalam film silat, terus bergerak nyaris tanpa henti. Mereka meliuk, meloncat, berlari, berputar, merangkak, merunduk, menjengking, dalam ritme yang teratur satu sama lain, hingga sampai pada tahap seperti ekstase atau mungkin juga lelah.
Para aktor yang kelelahan itu terjuntai di bibir panggung. Tubuh telanjang para aktor yang sudah dipenuhi peluh itu kemudian satu-persatu dibaluri menggunakan tanah liat encer nyaris seperti lumpur tadi oleh sang aktris. Gerakan seniwati nampak artistik bahkan mungkin nyaris erotis.
Bagaimana tidak, tubuh telanjang para aktor itu disusuri oleh telapak tangan lembut sang aktris yang memegang lumpur, sejak kepala, turun ke leher, dada, punggung hingga pinggang, untuk kemudian meloncat menyusuri bagian kaki.
Pertunjukan sepanjang satu setengah jam dalam temaram sinar lampu itu diakhiri dengan naiknya seorang perempuan tua ke atas panggung yang dalam hitungan menit berhasil membuat gerabah dari tanah liat, setinggi 15 Cm.
Kedua tangan tuanya yang tampak sibuk mengarahkan gerak naik lumpur, kaki sebelah kirinya juga tak kalah sibuknya memancal alat tradisional pembuat gerabah agar terus berputar tanpa berhenti. Bila pemancal itu berhenti, berarti harus menanggung resiko.
Perempuan tua itu berdiri dan mengusung gerabah hasil karyanya yang masih basah. Dia Nampak bangga dengan gerabah hasil karyanya. Dia memutar-mutar gerabah itu mengelilingi panggung. Tepuk tangan penontonpun membahana.
Beberapa penonton bahkan bangkit dari duduknya dan pindah mencari tempat duduk lain yang lebih aman. Beberapa lagi tampak berusaha melindungi wajah atau badan mereka dari cipratan lumpur yang tengah dilempar-bantingkan para seniman di atas panggung.
Teror tanah liat liat tidak berhenti sampai di situ. Pada bagian berikutnya, para seniman teater bermanuver dengan mengusung masing-masing satu buah gerabah di tangan. Gerabah atau benda yang biasa digunakan sebagai peralatan dapur dari tanah liat itu diputar-putar, dilempar untuk kemudian ditabrakan satu sama lain dan braaak! Pecah berantakan.
Jeritan penonton semakin menjadi. Pecahan-pecahan gerabah yang berserakan di lantai panggung itu lalu diraup oleh para aktor untuk kemudian dihambur-hamburkan. Tak pelak meski tidak banyak, ada juga pecahan-pecahan gerbah itu yang berhasil menerjang penonton.
Konstruksi panggung kayu berbentuk bundar setinggi setengah meter itu memang hanya berjarak tidak lebih dari satu meter dari tempat duduk penonton terdepan yang sengaja dibuat melingkari panggung.
Bagi penonton yang berada dibelakang tempat duduk terdepan diposisikan lebih tinggi, dan begitu seterusnya sehingga berundak-undak layaknya menonton di istana olahraga (Istora). Tapi tentu saja, ukurannya jauh lebih kecil. Kapasitasnya pun paling banter cuma akan bisa menampung kurang dari seratus penonton.
Layaknya pementasan teater genre visual yang tidak menghadirkan dialog verbal dalam kisahnya, pementasan Perempuan Gerabah karya Sutradara Nandang Aradea di Cafe Oregano, Serang, malam itu juga nyaris tanpa kata. Yang ada hanya gerakan tubuh empat aktor bertelanjang dada dan seorang aktris berbusana ala pendekar silat yang berpendar ditimpa redup sinar lampu panggung.
Bunyi-bunyian hanya yang berasal dari derap kaki aktor dan aktris saat menjejak papan lantai panggung atau dari ditabrakannya gerabah-gerabah hingga pecah berantakan. Bagi penonton awam, teater bukan pertunjukan menarik, diantaranya pulang dengan menyisakan kebingungan.
Namun bagi yang gandrung teater, pertunjukan gerak tubuh itu pun berakhir menyisakan pesan. Nandang menyebut, masyarakat Desa Bumijaya, Kecamatan Ciruas yang umumnya bermatapencaharian pengrajin gerabah selama puluhan tahun, hingga hari ini tetap miskin dan terbelakang.
"Saya yakin penonton teater kita sudah pada cerdas. Mereka memang tidak perlu memiliki pemahaman tentang apa yang ditontonnya. Biarkan menyimpukan sendiri. Saya ingin penonton pulang membawa ingatan tentang bagaimana mereka begitu terteror sepanjang pertunjukan," kata Nandang.(Banten Tribun)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar