(Sebuah Catatan Lepas)
Terlalu sayang nyawa melayang, hanya gara-gara petasan. Enam remaja tak berdosa meninggal mengenaskan saat menghindari tawuran setelah “perang petasan” antar kampung, Minggu (14/9) kemarin, di Setu Sasak Kecamatan Pamulang (lih. Tangerang Tribun, 15/9/2008).
“Siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggung jawab atas insiden ini?, hingga enam remaja itu tenggelam di Setu Sasak?”, itulah beberapa pertanyaan tersisa yang kerap terlintas pasca peristiwa naas itu.
Namun seyogyanya, yang perlu dilakukan secara bersama-sama adalah menjernihkan persoalan agar tidak meluas menjadi petaka-petaka baru. Disamping mempercayakan proses hukum yang telah ditangani pihak berwenang, alangkah baiknya apabila seluruh pihak belajar dan mengambil hikmah atas kejadian tersebut.
Sembari mendoakan agar korban tak berdosa diterima disisi-Nya, baik para orang tua, warga kedua belah pihak, aparat dan masyarakat secara luas tidak lagi membiarkan anak-anak mereka “bermain api” (sebut saja perang petasan yang sering menjadi tradisi di sebagian masyarakat) dalam bentuk apapun dan sekecil apapun. Karena bermain petasan ini, dalam banyak peristiwa, telah menjadi pemicu perkelahian hingga kematian. Memang tidak mudah untuk menghilangkan secara total kebiasaan bermain petasan itu, tetapi bisakah langkah terkecil sudah mulai dilakukan. Diantaranya melakukan penyadaran terhadap anak-anak bagi orang tua dan pendidik, melakukan penertiban atau memberi sanksi tegas terhadap “pemain petasan” oleh aparat dan upaya-upaya lainnya.
Sejarah pernah mencatat, pejuang bangsa meneteskan darah penghabisan hanya untuk melawan penjajahan. Mereka berjuang untuk sebuah tujuan “Merdeka!”. Agar kelak anak-cucuk mereka bisa hidup menikmati kebebasan; bebas dari ketakutan, bebas dari kebodohan dan mungkin bebas dari penindasan. Dengan itu pula, para pendiri bangsa ini berharap (selanjutnya) Manusia Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat, bebas berkreativitas, bebas mencipta hingga bebas memberikan manfaat bagi bangsanya.
Namun sejuta ironi ketika peristiwa “berdarah” terhidang di depan mata sekarang; dengan mudahnya nyawa melayang hanya dipicu kesalah pahaman bermain petasan. Padahal diluar sana, masih banyak energi yang harus ditumpahkan dan dicurahkan untuk kepentingan masyarakat. Demi bangsa ini, tak ada lagi perselesihan kecil memakan korban jiwa dan tak ada lagi upaya kekerasan menjadi satu-satunya cara dalam menyelesaikan setiap masalah. Kelak, kedamaian dan kebersamaan terjalin kokoh saat masyarakat majemuk ini maju membangun negeri.
Senin, 15 September 2008
Perang Petasan Berujung Petaka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar