Indonesia pada 2015 diperkirakan bisa pecah menjadi sedikit-dikitnya 17 negara bagian, dan sebagai induknya, Negara Republik Jamali yang terdiri atas Jawa-Madura dan Bali, sebagai cermin imperium Majapahit zaman dulu.
"Sudah merupakan suratan Tuhan Yang Maha Kuasa, setiap 70 tahun berjalan, suatu kerajaan atau negara kebanyakan terjadi perpecahan. Mungkin juga termasuk di Indonesia," kata Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe), Djuyoto Suntani, dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Kamis (27/12).
Lembaga Swadaya Internasional, kata Djuyoto, membuat garis kebijakan mendasar pada patron penciptaan tata dunia baru. Peta dunia digambar ulang. Uni Soviet dipecah menjadi 15 negara merdeka, kemudian Yugoslavia dipecah menjadi enam negara merdeka, dan demikian juga Cekoslowakia. "Di Irak saat ini sedang terjadi proses pemecahan dari masing-masing suku," katanya.
Indonesia, kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17 negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme yang berpaham pada sekularisme.
Pokok pikiran tersebut, kata Djuyoto, "Saya tuangkan pada Bab II yang juga memberikan jalan keluar agar Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI".
Peluncuran buku yang dihadiri para tokoh nasional, seperti Djafar Assegaf itu, Djuyoto memaparkan, adanya konspirasi global yang berupaya memecah dan menghancurkan Republik Indonesia.
Upaya memecah-belah Indonesia itu dilakukan melalui strategi "Satu dolar Amerika Serikat/AS menguasai dunia", yang digarap oleh organisasi tinggi yang tidak pernah muncul di permukaan, namun praktiknya cukup jelas, yakni berbaju demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Jika pecahnya itu menuju kebaikan rakyat, tidak menjadi soal, tetapi pecahnya NKRI itu justru akan menyulitkan rakyat karena semua aset penting dan berharga dikuasai investor asing di bawah kendali organisasi keuangan internasional," katanya.
Sementara itu, Dirjen Bina Sosial di Departemen Sosial, Prof DR Gunawan Sumodiningrat, yang mewakili Menteri Sosial (Mensos), Bachtiar Chamsyah, menyatakan bahwa ancaman perpecahan NKRI tersebut kini tampak nyata. "Saya sendiri sampai saat ini merasa bingung, mengapa rakyat Indonesia dapat bersatu, padahal banyak perbedaan, di antara suku-suku yang ada," katanya.
Perbedaan itu dapat disatukan, menurut dia, lantaran adanya Pancasila, di antara sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa, kemudian dibingkai dalam lambang Burung Garuda, yakni Bhineka Tunggal Eka. "Atas nama Tuhan Yang Maha Esa, kita dapat disatukan, melalui simbol Pancasila. Oleh karena itu, saya mendorong pemerintah sebaiknya melakukan kaji ulang untuk menerapkan Penataran Pedoman Penghayatan Pancasila (P4)," katanya.
Jika dulu cara penyampaiannya menggunakan model indoktrinasi, ia mengusulkan, saat ini perlu diubah melalui diskusi dan membuka wacana luas, dengan substansi Pancasila masih diperlukan untuk mempererat NKRI.
Ia menilai, pada dasarnya Indonesia ini mudah akan terjadi perpecahan, jika generasi penerus tidak menyadari adanya pihak asing yang ingin membuat Indonesia tidak kuat.
Buku berjudul "Indonesia Pecah" yang terdiri atas 172 halaman, termasuk foto-foto, kata Gunawan, menarik untuk dibaca karena sedikit-dikitnya ada tujuh penyebab Indonesia terancam pecah, seperti siklus sejarah tujuh abad atau 70 tahun.
Kemudian, tidak adanya figur atau tokoh pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak bangsa yang terus terjadi, upata stategis dari konspoirasi global, dan adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara. "Semua itu perlu diteliti lebih lanjut, apakah ada relevansinya dengan kejadian saat ini dimana banyak daerah ingin memisahkannya," katanya menambahkan.(Antara)
Source: http://antara.co.id/arc/2007/12/27/tahun-2015-indonesia-bisa-pecah/
Kamis, 27 Desember 2007
Jumat, 21 Desember 2007
“Pendekar Cisadane” Masuk Sekolah
Ketika Sosok Pahlawan Tangerang Masuk Kurikulum Sejarah Lokal
Mulai tahun ajaran 2008-2009 dan seterusnya, para pelajar dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas atau kejuruan wajib mengikuti pelajaran sejarah mengenai kepahlawanan Tangerang. Ya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tangerang memasukan kisah kepahlawanan Pendekar Cisadane dalam Pelajaran Sejarah dan Kebudayaan Tangerang sebagai materi pelajaran muatan lokal atau Mulok.
Pelajaran sejarah lokal yang mesti diketahui generasi penerus di Tangerang meliputi kisah sesosok Pendekar yang kemudian kerap disebut Pendekar Cisadane dalam upayanya berjuang bersama rakyat Tangerang untuk mengusir penjajah Belanda. Sejarah kepahlawanan Tangerang yang dimulai pada tahun 1930.
Pengetahuan sejarah kepahlawanan tentang Pendekar Cisadane tersebut ditujukan agar dapat menumbuhkan rasa patriotisme dikalangan generasi Tangerang bila kota seribu industri juga punya andil dalam meraih kemerdekaan. Kurikulum Mulok kepahlawanan itu juga sebagai upaya melestarikan budaya dan nilai-nilai sejarah rakyat Tangerang.
Sekilas mengulas sejarah Pendekar Cisadane; Surya sebagai sosok pahlawan Tangerang tahun 30-an yang sudih begitu gigih melawan penjajahan yang terjadi di bumi Tangerang. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penindasan kompeni, tidak surut hingga ajal menjemput.
Sejarah kepahlawanan Pendekar Cisadane mengisahkan perjalanan sesosok Surya mulai semasa kecil yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya dan usia 8 tahun hingga 19 tahun menimba ilmu beladiri di daerah Malaka. Dari sanalah sejarah kepahlawanan Tangerang dalam upaya melawan penjajahan dimulai.
Sejarah kepahlawanan Surya yang kemudian disebut dalam sejarah dengan sebutan Pendekar Cisadane juga diangkat dalam novel karya Mimi Ch. Sejarah kepahlawanan yang berjuang memerdekan rakyat Tangerang dari penindasan ini juga tengah diangkat ke dalam film layar kaca. Sebagai langkah awal memulai kurikulum Mulok, rencananya film sejarah ini juga akan diputar di sekolah-sekolah yang ada di Tangerang.
Setidaknya patut direspon positif rencana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengenalkan sejarah Tangerang kepada generasi penerus. Terlebih saat ini, Tangerang terus menjadi tujuan kaum urbanisasi yang hendak mencari penghidupan dan menetap di kota seribu industri ini.
Tentunya, sejarah kepahlawanan Tangerang sangat perlu dimunculkan. Bukan bermaksud mengedepankan sikap primordialisme, namun sudah menjadi keharusan bagi setiap rakyat Tangerang untuk lebih mengenal sejarah daerah dimana tempat mereka tinggal.
Pun generasi penerus yang dipastikan sudah begitu heterogen dari berbagai daerah, dengan disuguhi sejarah lokal Tangerang, tentunya mereka tidak hanya sekadar menetap, tetapi juga akan mengetahui seluk beluk perjalanan sejarah Tangerang yang juga mempunyai budaya begitu beragam.
Kurikulum sejarah lokal Tangerang ini diyakini juga dapat menimbulkan kebanggaan bagi perkembangan pendidikan secara nasional. Sebab, siapapun yang perah mengecam pelajaran sejarah lokal kepahlawanan di Tangerang, pastinya akan turut mengenang meski tidak lagi tinggal di Tangerang.(od)
Mulai tahun ajaran 2008-2009 dan seterusnya, para pelajar dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas atau kejuruan wajib mengikuti pelajaran sejarah mengenai kepahlawanan Tangerang. Ya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tangerang memasukan kisah kepahlawanan Pendekar Cisadane dalam Pelajaran Sejarah dan Kebudayaan Tangerang sebagai materi pelajaran muatan lokal atau Mulok.
Pelajaran sejarah lokal yang mesti diketahui generasi penerus di Tangerang meliputi kisah sesosok Pendekar yang kemudian kerap disebut Pendekar Cisadane dalam upayanya berjuang bersama rakyat Tangerang untuk mengusir penjajah Belanda. Sejarah kepahlawanan Tangerang yang dimulai pada tahun 1930.
Pengetahuan sejarah kepahlawanan tentang Pendekar Cisadane tersebut ditujukan agar dapat menumbuhkan rasa patriotisme dikalangan generasi Tangerang bila kota seribu industri juga punya andil dalam meraih kemerdekaan. Kurikulum Mulok kepahlawanan itu juga sebagai upaya melestarikan budaya dan nilai-nilai sejarah rakyat Tangerang.
Sekilas mengulas sejarah Pendekar Cisadane; Surya sebagai sosok pahlawan Tangerang tahun 30-an yang sudih begitu gigih melawan penjajahan yang terjadi di bumi Tangerang. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penindasan kompeni, tidak surut hingga ajal menjemput.
Sejarah kepahlawanan Pendekar Cisadane mengisahkan perjalanan sesosok Surya mulai semasa kecil yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya dan usia 8 tahun hingga 19 tahun menimba ilmu beladiri di daerah Malaka. Dari sanalah sejarah kepahlawanan Tangerang dalam upaya melawan penjajahan dimulai.
Sejarah kepahlawanan Surya yang kemudian disebut dalam sejarah dengan sebutan Pendekar Cisadane juga diangkat dalam novel karya Mimi Ch. Sejarah kepahlawanan yang berjuang memerdekan rakyat Tangerang dari penindasan ini juga tengah diangkat ke dalam film layar kaca. Sebagai langkah awal memulai kurikulum Mulok, rencananya film sejarah ini juga akan diputar di sekolah-sekolah yang ada di Tangerang.
Setidaknya patut direspon positif rencana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengenalkan sejarah Tangerang kepada generasi penerus. Terlebih saat ini, Tangerang terus menjadi tujuan kaum urbanisasi yang hendak mencari penghidupan dan menetap di kota seribu industri ini.
Tentunya, sejarah kepahlawanan Tangerang sangat perlu dimunculkan. Bukan bermaksud mengedepankan sikap primordialisme, namun sudah menjadi keharusan bagi setiap rakyat Tangerang untuk lebih mengenal sejarah daerah dimana tempat mereka tinggal.
Pun generasi penerus yang dipastikan sudah begitu heterogen dari berbagai daerah, dengan disuguhi sejarah lokal Tangerang, tentunya mereka tidak hanya sekadar menetap, tetapi juga akan mengetahui seluk beluk perjalanan sejarah Tangerang yang juga mempunyai budaya begitu beragam.
Kurikulum sejarah lokal Tangerang ini diyakini juga dapat menimbulkan kebanggaan bagi perkembangan pendidikan secara nasional. Sebab, siapapun yang perah mengecam pelajaran sejarah lokal kepahlawanan di Tangerang, pastinya akan turut mengenang meski tidak lagi tinggal di Tangerang.(od)
Langganan:
Postingan (Atom)